Mungkin berjuta anak sampai saat ini masih belum bisa tersenyum dengan gembira. Begitu banyak anak dalam usianya masih sangat belia sudah harus menanggung beban begitu berat, baik fisik maupun mental, yang menghambat proses tumbuh kembang mereka secara optimal. Di antara mereka adalah anak-anak yang sangat kurang memperoleh perhatian atau pengawasan dari orangtuanya, atau bahkan hidup tanpa keluarga sama sekali.
Ini dapat kita jumpai pada anak-anak yang hidup di jalanan, tidur di
pasar, di emperan toko atau di stasiun kereta api secara menggelandang dengan
mengais rejeki melalui aktivitas kehidupan di sekitarnya. Kerasnya hidup yang
harus mereka jalani kadang-kadang terpaksa menyeret mereka untuk melakukan
berbagai tindak kriminal, sehingga pada usianya yang amat dini mereka sudah
harus berurusan dengan aparat penegak hukum.
Tak jarang kemudian mereka juga harus meringkuk di balik jeruji besi
tembok penjara tanpa perlindungan yang semestinya dan kemudian memperoleh
perlakuan sewenang-wenang bagaikan narapidana dewasa yang lain.
Kondisi krisis ekonomi saat ini, juga telah memaksa jutaan anak-anak di
kota maupun di desa terjun ikut bekerja guna memperoleh tambahan penghasilan.
Apakah itu sebagai buruh anak di bidang pertanian dan perikanan di desa, atau
sebagai buruh anak di pabrik-pabrik dengan kondisi kerja yang sangat
memprihatinkan.
Lihatlah
beberapa kasus seperti :
- Anak yang tidak memiliki akte kelahiran.
- Anak yang mengalami putus sekolah.
- Anak yang bekerja dalam pekerjaan terburuk.
- Anak yang mengalami eksploitasi dan perlakuan salah lainnya (anak
jalanan) yang tersebar di berbagai kota besar. - Anak yang mengalami tindak kekerasan.
- Anak yang diperdagangkan untuk tujuan seksual komersil.
- Ribuan anak-anak yang masih trauma akibat berbagai kerusuhan dan
konflik ditengah masyarakat.
Konvensi Hak Anak yang telah ditetapkan oleh PBB sebagai standar
universal bagi hak-hak anak, seharusnya berfungsi untuk melindungi mereka dari
berbagai tindakan salah tersebut. Sebanyak lebih dari 180 negara di dunia telah
meratifikasi isi Konvensi tersebut pada tahun 1990.
Namun, apakah instrumen pengikat secara politis dan yuridis yang
implikasi dan segala konsekwensinya ada pada kita semua itu betul-betul telah
kita terapkan dalam realita kehidupan sehari-hari?
Tampaknya itu semua masih jauh dari kenyataan.
Berbagai tindak kekerasan, penelantaran dan eksploitasi masih saja
terus dialami oleh bocah-bocah cilik tunas harapan bangsa di bumi pertiwi
tercinta ini.
Begitu pula penderitaan psikologis akibat berbagai sikap dan tindakan
yang sewenang-wenang terhadap anak, membuat mereka menjadi anak-anak yang
bermasalah sehingga mengganggu proses tumbuh kembang mereka secara sehat.
Di dalam masyarakat seolah tumbuh anggapan bahwa anak adalah komunitas
kelas bawah. Mereka adalah pribadi-pribadi kecil dan lemah yang sepenuhnya
berada di bawah kendali kekuasaan orang dewasa, sehingga berakibat orangtua pun
merasa berhak melakukan apa saja terhadap anak.
Pengertian sempit ini terus berkembang sehingga banyak diajarkan baik
di rumah maupun di sekolah, bahwa anak-anak harus menurut sepenuhnya kepada
orangtua, guru atau orang dewasa yang lain. Mereka sama sekali tidak boleh
membantah, mengeritik, apalagi melawan, tanpa adanya penjelasan secara rinci dalam
situasi bagaimana hal itu seharusnya dilakukan.
Pandangan demikian akhirnya berkembang dan sering membuka peluang
terhadap dilakukannya berbagai penindasan dan perlakuan salah terhadap anak.
Kurangnya respon masyarakat terhadap berbagai tindak kekerasan oleh orang
dewasa ini, apalagi bila pelakunya adalah orangtua sendiri atau masih mempunyai
hubungan keluarga dengan sang anak, juga sering disebabkan karena masalah
tersebut dianggap sebagai masalah intern keluarga.
Inilah realita yang terjadi di sekeliling kita.
Tampaknya isi dan makna dari Konvensi Hak Anak masih belum
tersosialisasi secara luas kepada masyarakat, sehingga akhirnya masyarakat
menjadi kurang peka dan kurang memahami fenomena yang ada.
Untuk itu semua pihak kiranya perlu berusaha agar makna dari Konvensi
Hak Anak tersebut dapat tersebar secara lebih luas, sebagaimana tertera dalam
pasal 42 dari Konvensi tersebut, yaitu bahwa Negara Peserta berupaya agar
prinsip-prinsip dan ketentuan Konvensi ini diketahui secara luas oleh orang
dewasa dan juga anak-anak melalui cara yang tepat dan aktif.
Hak Anak
Menurut Konvensi Hak Anak yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada
tahun 1989, dimana Indonesia juga telah meratifikasinya melalui Kepres No.
39/Tahun 1990, setiap anak tanpa memandang ras, suku bangsa, jenis kelamin,
asal usul keturunan, agama maupun bahasa mempunyai hak yang meliputi 4 hak,
yaitu :
Hak Untuk Hidup
Anak-anak harus mempunyai akses pada pelayanan kesehatan
dan dapat menikmati standar hidup yang layak, termasuk cukup makanan, air bersih
dan tempat tinggal yang aman. Anak-anak juga mempunyai hak untuk memperoleh
nama dan kewarganegaraan.
Hak Untuk Tumbuh dan Berkembang
Anak-anak berhak mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan
potensinya semaksimal mungkin. Mereka berhak memperoleh pendidikan (formal dan
non formal) yang memadai. Anak-anak juga diberi kesempatan untuk bermain,
berekreasi dan beristirahat.
Hak Untuk Memperoleh Perlindungan
Anak-anak harus dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan
seksual, kekerasan fisik atau mental, penangkapan atau penahanan yang
sewenang-wenang, dan segala bentuk diskriminasi. Anak-anak yang tidak mempunyai
orangtua dan anak-anak pengungsi juga berhak mendapat perlindungan.
Hak Untuk Berpartisipasi
Anak-anak harus diberi kesempatan untuk menyuarakan
pandangan dan ide-idenya terutama tentang berbagai persoalan yang berkaitan
dengan anak.
Penerapannya di Indonesia
Di Indonesia masih banyak anak yang mengalami kekerasan dan penindasan
haknya, karena terkadang orang dewasa menganggap bahwa anak merupakan
‘properti’ milik mereka. Di lain pihak, anak terkadang memiliki kesulitan untuk
mengungkapkan perasaannya sehingga aspirasinya juga tidak tersalurkan.
Selain pelanggaran hak anak, banyak anak di Indonesia maupun di seluruh
dunia mengalami tindakan kekerasan oleh orang dewasa yang sayangnya justru dilakukan
di dalam rumah tangga. Menurut data dari World Health Organization (WHO)
penganiayaan anak telah menyengsarakan hidup 40 juta anak yang berusia antara
0-14 tahun.
Beberapa
jenis kekerasan yang dialami oleh anak di Indonesia antara lain :
- Kekerasan fisik, seperti menampar, mencubit, memukul, menendang,
menjewer, menginjak, dan sebagainya. - Kekerasan seksual, seperti mencium dengan paksa, mencolek, sodomi, oral
seks, dan sebagainya. - Kekerasan emosional, seperti hinaan dan cercaan.
Kekerasan
yang dilakukan terhadap anak akan berdampak negatif terhadap perkembangan jiwa
anak, antara lain;:
- Gangguan kecerdasan (kecemasan dan sulit konsentrasi)
- Disorientasi seksual
- Gangguan fisik, mental serta emosional
- Tingkah laku meniru tindakan tersebut
- Anak menjadi agresif
- Kemarahan dan dendam, dan sebagainya.
Dengan adanya dampak psikologis dari pelanggaran dan tindak kekerasan
terhadap anak, hendaknya kita dapat memahami bahwa pada dasarnya anak adalah
suatu pribadi utuh yang tidak boleh diperlakukan begitu saja secara
semena-mena, karena mereka mempunyai hak-hak khusus sebagai anak yang perlu
senantiasa dilindungi.
Menjadi tugas kita bersama untuk menyediakan lahan yang subur bagi proses tumbuh kembang mereka, yakni dengan mengerti hak-hak mereka sebagai anak, melindungi mereka dari berbagai tindakan eksploitasi dan penyalahgunaan.
Marilah kita junjung tinggi hak-hak anak dalam kehidupan sehari-hari,
sehingga dengan tulus akhirnya kita dapat mengatakan : Anak-anak Indonesia, tersenyumlah!