Jika Anda memutuskan menyusui si
kecil dan memerlukan seorang sahabat untuk membantu dan mendukung Anda, carilah
konselor laktasi.
Melani sedang
bingung. Seminggu yang lalu Melani melahirkan secara normal. Ini bayi
pertamanya. Laki-laki, berat 3,57 kg panjang 49 cm. Sejak awal, karyawati
sebuah perusahaan tekstil ini ingin menyusui secara eksklusif. Tapi
kenyataannya, selama seminggu ini bayinya tidak minum ASI ekslusif.
Melani
terpaksa memberi bayinya susu formula sejak hari pertama. Pasalnya ia merasa
produksi ASI-nya kurang, sementara bayinya kuat sekali menyusu. Melani merasa
bayinya tidak puas menyusu, dan menjadi bingung karenanya. Menurut
pengamatannya, bayinya saat menyusu terlihat lelah sekali. Setelah meng-isap
5-10 menit di satu payudara, Melani harus memindahkannya ke payudaranya yang
satu lagi. Jika tidak, bayinya menangis. “Kalau sudah tiga kali bolak-balik
payudara kiri-kanan, dia me-nangis lagi, lalu tidak mau mengisap lagi.”
Yang
membuat Melani makin bingung, dua hari yang lalu ia harus dirawat inap di rumah
sakit karena perdarahan. Hb-nya turun sampai 9,9.Sementara ia opname, bayinya dirawat di rumah
oleh neneknya – ibu kandung Melani. Di rumah sakit, Melani berusaha memerah
ASI, namun hanya berhasil mendapatkan 20 cc sekali perah. Ia kemudian merasa,
ibunya menekannya untuk memberi bayi susu formula sepenuhnya, dengan botol
susu, dan mulai memberikan empeng. Melani tidak menginginkan hal itu terjadi,
karena ia masih ingin menyusui bayinya sebaik yang ia mampu. Tapi ia tidak tahu
bagaimana caranya supaya keinginan itu bisa terwujud. Ia ingin minta bantuan,
tapi kepada siapa?
Konselor
Laktasi, Lahir dari Kebutuhan
Melani
tidak sendiri. Kita pasti sering mendengar kisah ibu-ibu bekerja lainnya yang
gagal menyusui eksklusif, atau bahkan tidak menyusui sama sekali. Dan ternyata,
mayoritas ibu di banyak negara mulai memberikan bayi mereka makanan/minuman
pendamping sebelum bayi mereka mencapai usia 6 bulan. Banyak pula di antara
mereka yang berhenti menyusui sebelum bayi mereka berusia 2 tahun. Namun tidak
semua dari mereka mengalami ‘awal menyusui yang kurang sukses’ seperti Melani.
Justru sebaliknya, banyak di antara mereka yang memulai kegiatan menyusui
secara memuaskan.
Sekarang
mari kita berandai-andai sedikit. Seandainya di rumah sakit tempat Melani
melahirkan ada orang yang mampu memberinya konseling dan dukungan untuk
menyusui selama hari-hari pertama sesudah melahirkan, mungkin Melani tidak
harus bingung ketika merasa bayinya tidak puas menyusu, sehingga terpaksa
memberi susu formula. Dan seandainya saja di rumah sakit tempat Melani dirawat
inap juga ada orang yang mampu memberinya kon-seling dan dukungan untuk
menyusui selama ia tergolek sakit, mungkin ia pun tidak harus bingung
menghadapi tekanan ibunya untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan
keinginannya untuk menyusui.
Siapakah
yang mampu menjalankan peran sebagai pemberi konseling dan dukungan bagi
ibu-ibu menyusui, supaya mereka mampu mempertahankan ke-giatan menyusuinya?
Harus diakui, petugas kesehatanlah yang paling mampu. Semua petugas kesehatan
yang merawat ibu-ibu dan bayi-bayi setelah periode persalinan dianggap
memainkan peranan kunci. Sayangnya, banyak petugas kesehatan tidak mampu menjalankan
peranan ini secara efektif lantaran mereka belum dilatih untuk melakukannya.
Hanya sedikit waktu yang diberikan untuk membahas keterampilan konseling dan
memberi dukungan menyusui dalam kurikulum untuk dokter, perawat maupun bidan.
Itulah
sebabnya kemudian WHO dan UNICEF bekerja sama mengadakan semacam kursus
pelatihan bagi semua petugas kesehatan yang merawat ibu dan anak kecil, di
seluruh dunia. Kursus yang bernama ‘Breastfeeding counselling: A Training
course’ ini mengajarkan keterampilan yang dibutuhkan untuk mendukung maupun
melindungi kegiatan menyusui, lewat modul materi 40 jam. Buku panduannya mulai
dikeluarkan sejak 1993.
Bukan
Hanya dari Kalangan Medis
Di
Indonesia kursus pelatihan konselor laktasi yang memakai modul 40 jam milik
WHO-UNICEF mulai diselenggarakan secara tetap sejak 2001. Perintis
penyelenggaraan pelatihan konselor laktasi reguler ini adalah Lembaga
Peningkatan Penggunaan ASI (LPPASI) St. Carolus, Jakarta. Sejak 2004 sampai sekarang,
institusi yang konsisten menyelenggarakan kursus pelatihan konselor laktasi
secara reguler adalah Sentra Laktasi Indonesia (SELASI). Baru-baru ini,
tepatnya 13-18 Februari 2006, SELASI mengadakan Pelatihan Konselor Laktasi
Reguler Angkatan V di sekretariatnya, kawasan Sunter, Jakarta Utara. Baik
kursus pelatihan konselor laktasi yang diadakan oleh LPPASI maupun SELASI,
uniknya, tidak hanya diperuntukkan bagi petugas kesehatan. Kalangan nonmedis –
ibu rumah tangga, praktisi media, aktivis LSM, eksekutif perusahaan, atau siapa
saja yang berminat – dipersilakan bergabung. Ini dilakukan agar ilmu seputar
ASI dan menyusui, konseling menyusui dan pemberian dukungan dan perlindungan
terhadap kegiatan menyusui tersebar seluas-luasnya.
Saat
ini, di beberapa rumah sakit dan pusat kesehatan, terutama di Jakarta dan
sekitarnya, sudah ada lebih dari seratus konselor laktasi ‘alumni’ kursus
pelatihan bermodul 40 jam WHO-UNICEF yang berasal dari kalangan medis maupun
nonmedis. Melani, ibu menyusui yang kebingungan dalam kisah di atas, akhirnya
mendapatkan bantuan dari salah seorang konselor laktasi nonmedis. Konselor
tersebut tidak ‘buka praktik’, namun bersedia dihubungi lewat SMS, bahkan larut
malam pun bersedia mengontak Melani (yang saat itu masih terbaring di rumah
sakit) di ponselnya untuk mendengarkan keluhan-keluhannya dan memberinya
saran-saran.
Juga Tempat ‘Curhat’
Layaknya konselor, para konselor laktasi pun dibekali dengan keterampilan
konseling. Konseling adalah lebih dari sekedar memberi nasehat (advising).
Seringkali, jika kita menasehati seorang ibu, kita memberitahu ibu itu apa yang
kita anggap sebaiknya ia lakukan. Tapi jika kita melakukan konseling terhadap
seorang ibu, maka kita membantunya memutuskan apa yang terbaik untuknya, dan
kita membantunya menumbuhkan kepercayaan diri. Kita mendengarkannya, dan
mencoba memahami perasaannya. Itulah sebabnya, tujuan kursus pelatihan konselor
laktasi, setidaknya yang memakai modul 40 jam WHO-UNICEF, adalah memberi
pesertanya keterampilan mendengar dan keterampilan membangun kepercayaan diri,
supaya mereka dapat membantu para ibu secara lebih efektif.
Seorang konselor laktasi yang baik tidak akan
memaksa ibu mana pun untuk menyusui bayinya. Ia justru akan membantu ibu
memutuskan apa yang terbaik untuk si ibu, dan membantu menumbuhkan kepercayaan
dirinya untuk membuat keputusan dan menjalankan keputusannya itu. Tidak heran
jika konselor laktasi akhirnya menjadi tempat ‘curhat’ ibu-ibu yang baru punya
bayi. Macam-macam topik ‘curhat’ mereka. Misalnya, lingkungan (suami, orangtua,
mertua, atasan, rekan kerja, dll.) yang menekan atau memaksa untuk memberikan
susu formula; bayi yang rewel; suami atau keluarga yang kurang pengertian;
sampai ke masalah-masalah yang sepintas tidak ada hubungannya dengan soal
menyusui, tapi sebenarnya ada, karena terbukti masalah itu memenuhi pikiran
mereka atau menimbulkan perasaan-perasaan negatif, misalnya: isu flu burung,
AIDS, kenaikan harga BBM, dll.
Di samping dibekali keterampilan konseling,
konselor laktasi juga dibekali informasi-informasi yang relevan seputar
menyusui dan ASI. Misalnya, mengapa menyusui itu penting, situasi menyusui
lokal, bagaimana proses menyusui berlangsung, bagaimana menilai dan mengamati
kegiatan menyusui, bagaimana mengatur posisi bayi di payudara, kondisi
payudara, bagaimana mengatasi bayi yang menolak menyusu, bagaimana memeriksa
payudara, cara memerah ASI, bagaimana menangani ASI yang ‘tidak cukup’ dan bayi
yang menangis terus, bagaimana menangani bayi sakit dan bayi dengan
berat-lahir-rendah (BLR), bagaimana meningkatkan produksi ASI dan cara
melakukan relaksasi, serta bagaimana cara mempertahankan kegiatan menyusui.
Selain itu, sebagai tambahan, konselor laktasi juga dibekali informasi tentang
gizi, kesehatan dan kesuburan wanita, menyusui dan wanita bekerja, serta promosi
komersial pengganti ASI.
Bagaimana, berminatkah menjadikan mereka
sahabat Anda?
Referensi:
- Breastfeeding counselling: A
Training course – Participant’s Manual, 1993, WHO dan UNICEF. - Breastfeeding counselling: A training course – Trainer’s Guide, 1993, WHO
dan UNICEF.
No Comments
Saya tinggal di Bandung. Setelah melahirkan saya ke klinik Laktasi di sebuah RS Swasta. Pada kunjungan saya yang pertama, seorang dokter anak juga seorang ahli gizi mengajarkan saya cara menyusui dengan benar dan memberikan support. Seminggu kemudian saya disuruh datang lagi untuk melaporkan hasil apakah ASInya sudah lancar atau belum. ASI saya pada saat itu belum lancar dan memberi tambahan suform 30ml sehingga pada kunjungan berikutnya saya curhat lagi kepadanya. Tapi ternyata yang saya dapatkan adalah ia menuduh saya dan memarahi tidak memberikan ASI sesering mungkin.Saya jelaskan padanya bahwa saya selalu menyusui bayi saya ketika dia minta dan membangunkannya tiap 2 jam kalau bayi saya sedang tertidur pulas. Dia tidak percaya dan tetap menuduh saya karena puting saya lecet, saya tidak mau menyusui. Padahal demi Tuhan, walau puting saya lecet, saya tetap menyusui sambil menangis-nangis menahan sakit sambil mengikuti cara menyusui yang benar seperti yang ia ajarkan. Akhirnya ketika dia menyuruh saya datang 2 minggu kemudian, saya tidak mau datang. Saya pikir, saya datang mau curhat, mencari motivator dan kepercayaan diri, tapi sesampai di sana, saya malah tidak dipercayai. Untuk apa saya datang tapi saya bohong? Nah, memang sebaiknya kalau mau jadi konselor laktasi harus orang yang sabar. Kalau tidak, maka akan menurunkan semangat dan menambah kebingungan klien laktasinya.
Wah saya mau sekali jadi sahabat para ibu.