“To prove his love, he climbed the highest mountain, swam the
deepest ocean, and crossed the widest desert… but she left him – he never
home”
Laki-laki dan perempuan tidak hanya berbeda secara fisik dan
psikis. Dalam berpikir pun juga berbeda. Kesadaran ini yang belum banyak
disadari baik oleh laki-laki dalam posisi sebagai suami atau ayah.Maupun perempuan dalam posisi sebagai istri
atau ibu. Suami merasa sudah berkorban mati-matian untuk menyenangkan hati
istrinya. Namun istri tidak merasa mendapatkan apa-apa dari pasangannya. Karena
suami dan istri punya cara berpikir yang berbeda. Perbedaan harus disadari.
Bila tidak, bisa menjadi pemicu konflik yang berujung perceraian atau keretakan
hubungan orang tua-anak.
Secara fisiologis sebenarnya tidak banyak perbedaan antara
otak laki-laki dan perempuan. Baik berat maupun volumenya. Sedikit perbedaan
yang dimaksud antara lain adalah organ otak yang disebutcorpus callosum. Pada perempuan, corpus
callosumnya lebih besar dan lebih tebal dibandingkan pada laki-laki.
Corpus callosum adalah bagian dari otak manusia yang
menghubungkan belahan otak kiri dengan otak kanan. Sekaligus menghubungkan otak
emosional (limbic system) dengan otak rasional (neocortex). Perbedaan lain,
pusat pengaturmemori (hippo campus) pada
otak laki-laki lebih kecil dibandingkan pada perempuan.
Disisi lain, bagian limbic system yang bernama amygdala pada
otak laki-laki justru lebih besar dibanding pada perempuan. Namun jaras
sarafyang terkait dengan emosi pada
otak laki-laki lebih sedikit dibandingkan pada perempuan. Sehingga membuat
kemampuan daya ingat terhadap peristiwa yang sarat dengan muatan emosional
lebih kuat pada otak perempuan dibandingkan pada laki-laki.
Demikian juga aliran darah pada otak perempuan sekitar 15%
lebih banyak dibandingkan dengan otak laki-laki. Saat memproses emosi, pada
otak perempuan lebih banyak area fisik otak (cortical area) yang aktif
dibandingkan dengan otak laki-laki.
Bridge brain
Di masyarakat kita mengenal perempuan yang berperilaku
cenderung kelaki-lakian. Namun seksualitasnya masih normal-normal saja.
Perempuan ini kita sering sebut dengan istilah tomboy. Sebaliknya, ada
laki-laki yang sangat care dan benar-benar mampu menjadi pendengar yang baik,
sabar, sangat memahami perasaan orang lain. Namun seksualitasnya tidak ada
penyimpangan.
Perempuan pada umumnya menyukai laki-laki seperti ini. Yang
disebutnya ‘mengerti’ perasaan perempuan. Laki-laki seperti ini biasanya sering
dijadikan bahan olokan karena dianggap tidak tegas, kurang macho, dan sebagainya.
Dari sebuah penilitian di negara maju yang dilakukan pada
dekade 90-an ditemukan bahwa sekitar 15-20% laki-laki memiliki otak yang
diwarnai oleh otak perempuan (feminised brain). Sedangkan sekitar 10% perempuan
otaknya diwarnai oleh otak laki-laki (masculinised brain).Adanya ‘warna’ atau pengaruh otak laki-laki
pada perempuan atau sebaliknya disebabkan adanya kelebihan hormonal dari ukuran
normal untuk masing-masing otak perempuan dan laki-laki. Yang disebut dengan
istilah brigde brain.
Perempuan dan bicara
Perempuan memiliki ‘hobi’ bicara dibandingkan laki-laki.
Bila perempuan (istri)-dalam keadaan tertekan-bicara menyampaikan sesuatu yang
dirasakannya pada laki-laki (suami), ia merasakan sebagai sebuah penghargaan,
menunjukkan kedekatan, dan kepercayaan. Sebaliknya dalam situasi yang sama,
laki-laki lebih banyak berdiam diri dan menyendiri.
Bagi suami, jika istrinya mulai ‘masuk’ dengan menanyakan
dan berusaha sharing sebagai tanda kepedulian, akan dirasakan suami sebagai
gangguan. Dianggap intervensi terhadap proses mencari solusi atas masalah yang
dihadapinya. Namun sebaliknya buat istri bila tidak dilibatkan, ia akan merasa
diabaikan, tidak dihargai, tidak dipercaya, dianggap sebagai outsider. Dan ini
menyakitkan hatinya.
Otak perempuan memang dibuat memiliki pusat-pusat bicara
yang lebih banyak di otaknya yang mendorong untuk berbicara lebih banyak
dibandingkan pada otak laki-laki. Laki-laki dapat tetap merasa nyaman dalam
melakukan pekerjaannya tanpa harus bicara. Bila perlu seharian penuh tahan
tidak bicara. Sebaliknya, bagi perempuan merupakan ‘siksaan’ bila seharian
tidak ada yang diajak bicara.
Kesadaran ini setidaknya bisa dijadikan pemicu untuk
mulainya proses komunikasi terbuka antara suami-istri, ataupun antara ayah
dengan anak perempuannya dan ibu dengan anak laki-lakinya. Bahwa cara berpikir
laki-laki dan perempuan memang berbeda.