[pullquote]Bullying tak boleh dibiarkan, Ibu dapat menyelesaikannya dengan mengambil langkah yang strategis. Ini saatnya untuk bertindak ![/pullquote]
[dropcap style=”font-size: 60px; color: #83D358;”]B[/dropcap]eberapa waktu yang lalu. puteri sulung saya (10 tahun) bercerita tentang seorang temannya di sekolah yang suka mengambil secara paksa alat-alat tulisnya, menghina dan berulang kali berteriak-teriak marah jika keinginannya tidak dipenuhi. Apakah cerita serupa pernah Anda dengar juga dari putra-putri Anda ?
Obrolan itu, memicu ingatan saya akan berita-berita di media massa baik surat kabar, maupun televisi yang membahas tentang tingkah laku kekerasan (bullying) di dunia sekolah. Sungguh mengkhawatirkan tentu saja, orangtua sebaiknya tak berdiam diri jika hal seperti ini terjadi di sekolah anak.
Beda tingkatan, beda bentuk bullying
Meski banyak kasus yang dipublikasikan lebih banyak di sekolah menengah pertama, atas, dan perguruan tinggi, tetapi jika dicermati lebih jauh, maka tingkah laku bullying, juga sudah mulai terjadi, bahkan di tingkat TK. Kasus yang terjadi di TK biasanya tidak terlalu mencolok. Contohnya anak yang gemar memakan bekal teman sekolahnya dengan paksa sementara temannya tidak berani menolak karena takut diejek “pelit”, atau karena “diancam” tidak diajak bermain.
Sementara itu, kasus yang sering terjadi di tingkat sekolah dasar (SD) relatif lebih bervariasi, seperti ejekan karena kondisi fisik (gendut, kurus, keriting, dan lain sebagainya), paksaan untuk memberikan alat-alat tulis. Bisa juga pelaku mengintimidasi dengan cara berteriak, mengancam, atau bahkan dengan memengaruhi siswa lain untuk ikut menjauhi, sehingga korban merasa tertekan dan dengan terpaksa memenuhi keinginan pelaku.
Apa yang masuk kategori bullying ?
Namun tidak berarti setiap tindakan tak menyenangkan dapat dikategorikan sebagai bullying. Suatu tingkah laku dapat dikategorikan bullying apabila memiliki pola tertentu, diulang-ulang, memiliki tujuan (yang disengaja) untuk menyakiti atau membuat tidak nyaman korbannya. Berdasarkan National Conference of States Legislatures, bullying adalah tingkah laku yang meliputi pelecehan, intimidasi, ejekan, hinaan dan mentertawakan. Selain itu juga perlu adanya kesenjangan ‘kekuasaan’, dimana pelaku memiliki kekuasaan, kekuatan atau dominasi yang lebih tinggi dibandingkan korbannya.
Di luar negeri, telah banyak program penanganan kasus bullying yang telah berhasil diterapkan secara luas, seperti The Olweus Bullying Prevention Program , Linking The Interest of Families and Teachers (LIFT), dan, The Incredible Years Program. Di Indonesia sendiri, tidak semua sekolah memiliki program khusus penanganan bullying, kalaupun ada, pada umumnya penanganan kasus bullying masih bersifat lokal.
Penanganan secara terpadu
Idealnya, program penanganan bullying tidak hanya terfokus pada pelaku, tetapi juga korban, orangtua, sekolah, bahkan para bystander dan defender, yaitu siswa-siswa lain yang mengetahui adanya tindakan bullying tersebut, baik yang diam saja maupun yang berusaha membela korban. Program tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan sehingga perlu diteliti dahulu sebelum dimanfaatkan.
Apabila sekolah belum memiliki program, keterlibatan orang tua (keluarga) secara maksimal perlu dipertimbangkan, terutama apabila anak kita yang menjadi korban. Namun sayangnya, tidak semua orangtua menyadari ketika anak menjadi korban bullying. Ketika tahu pun, orangtua lebih memilih melapor pada guru dan berharap pihak sekolah dapat menanganinya.
Jika hal itu terjadi di sekolah, memang benar kiranya bahwa sekolah harus memastikan hal itu tidak terjadi kembali. Namun sebagai orangtua, mengapa kita tidak mempersiapkan anak-anak untuk menjaga diri mereka sendiri? Karena tidak selamanya orang dewasa dapat mendampingi mereka.
Tip Agar Terhindar dari Bullying
Berikut beberapa tips yang dapat dilakukan anak,orangtua maupun guru untuk menghadapi tindakan bullying …
a. Ajari anak bersikap berani
Pada dasarnya, pelaku bullying akan lebih ‘bersemangat’ untuk menyakiti temannya dengan karakteristik tertentu. Misalnya anak-anak yang memiliki kekurangan fisik, kurang menarik, obesitas/kegemukan, memiliki hambatan dalam bersosialisasi, terlihat kesepian, memiliki masalah emosional atau justru sok pintar. Oleh sebab itu, ajarkan anak-anak untuk tetap terlihat berani (tetapi bukan menantang) ketika berhadapan dengan pelaku bullying.
b. Asertif
Namun mengajarkan anak untuk ‘melawan’ secara verbal atau fisik bukanlah tindakan bijaksana, karena dapat memicu pertengkaran terbuka. Anak bisa diajarkan untuk bersikap asertif, dengan mengatakan langsung pada pelaku bahwa tingkah lakunya sama sekali tidak bisa diterima dan menyakitkan hati. Selain itu, ajarkan untuk menatap mata pelaku bullying, sebagai ‘perang psikologis’. Pelaku akan sadar, bahwa korbannya tidak dapat dikuasai dengan mudah.
c. Belajar ‘mengabaikan’
Apabila ejekan yang menjadi masalah, maka ajarkan pada anak kita untuk mengabaikan setiap ejekan yang dilontarkan pelaku. Bersikap seolah-olah ia tidak mengatakan apa-apa serta tetap melakukan aktivitas seperti biasa. Hal ini akan menjadi ‘pukulan telak’ bagi pelaku bullying, karena pada saat itu ‘kekuatan/kekuasaannya’ tidak diakui. Apabila hal ini dilakukan secara konsisten, maka pelaku bullying akan bosan karena tidak mendapat respon apapun.
d. Cari bantuan!
Selanjutnya, ajarkan anak untuk meminta pertolongan, terutama jika pelaku bullying telah menyerang secara fisik, atau merugikan secara sosial. Seringkali korban merasa takut untuk menceritakan pengalamannya. Karenanya, tanamkan keyakinan pada anak bahwa melaporkan hal tersebut pada orang yang tepat (misalnya orang tua/guru) justru dapat menolongnya.
e. Memanfaatkan waktu kosong
Pada jam kosong, misalnya, guru dapat berbincang dengan para siswa dan memperkenalkan apa itu bullying, menanyakan pendapat, perasaan dan sikap siswa terhadap tingkah laku bullying. Lebih baik jika siswa juga diajak untuk mendiskusikannya. Mengingat guru adalah role model penting bagi anak-anak, maka jangan sungkan meminta bantuan para guru di sekolah untuk melakukan hal ini.
f. Sediakan waktu untuk anak
Makan malam bersama, atau mengobrol bersama setelah waktu belajar adalah saat yang tepat untuk berbicara dengan anak. Terutama jika kita mencurigai bahwa anak mengalami atau menjadi pelaku bullying. Berbincang-bincanglah dari hati ke hati. Mencegah anak menjadi pelaku bukan hanya melindungi orang lain menjadi korban, tetapi juga melindungi pelaku bullying dari tindakan kriminal di masa depan.
Dalam hal ini, mencegah lebih baik daripada mengobati. Anak-anak di jenjang pendidikan TK dan SD ini dapat diarahkan untuk melakukan tindakan pencegahan terhadap bullying. Anda pun dapat melakukannya di rumah.
Referensi :
- Loneliness at School and its Relation to Bullying and the Quality of