[dropcap style=”font-size: 60px; color: #83D358;”]B[/dropcap]erdasarkan data WHO, saat ini 1 dari 5 anak dan remaja di bawah usia 18 tahun memiliki masalah kesehatan jiwa. Dan 3-4% dari kelompok tersebut memiliki gangguan kesehatan jiwa yang serius serta memerlukan penanganan.
Pendidikan dan pengasuhan anak bukanlah sekadar agar anak kelak menjadi anak yang sehat secara fisik, pandai, taat, serta berbakti kepada orangtua. Yang tak kalah penting adalah bagaimana agar pengembangan tujuan di atas dapat terwujud dengan kualitas yang baik. Landasan yang dibutuhkan adalah kesehatan jiwa.
Adapun pencapaian kesehatan jiwa tidak terjadi begitu saja saat anak tumbuh besar, melainkan tergantung dari peran keluarga dan masyarakat sejak mereka masih kecil. Pola asuh memegang peranan penting dalam hal ini. Mari kita lihat beberapa contoh pola didik/asuh anak yang tidak memenuhi kriteria kesehatan jiwa:
1. Merasa tertekan dan tidak bahagia. Baik guru maupun orangtua memperlakukan anak sebagai obyek, misalnya memaksa anak terus belajar agar menjadi ranking pertama—atau setidaknya masuk 10 besar. Akibatnya anak dijejali dengan berbagai tugas les sehingga anak merasa tertekan. Sebaliknya, jika anak berhasil dalam bidang non-akademik, misalnya melukis atau menyanyi, orang tua tidak pernah memuji anak.
2. Anak tidak dibiasakan menghadapi tantangan hidup. Orang tua terlalu khawatir atau terlalu melindungi anak sehingga anak tidak pernah dilatih atau dibiasakan menyelesaikan masalahnya sehari-hari. Contohnya orangtua mengerjakan PR anaknya karena takut anak dinilai tidak mampu atau dimarahi gurunya. Ini sering terjadi karena orangtua tidak dapat membedakan mana hak asasi anak dan mana hak istimewa anak.
3. Tidak dapat menerima orang lain sebagaimana adanya. Sejak kecil anak dididik dengan kalimat “Jangan bergaul dengan si anu atau si itu. Mereka beda agama, suku bangsa, kelas sosial dengan kita.” Dengan kata lain, anak tidak diajarkan untuk berempati dengan orang lain, karena orangtuanya tidak mampu atau tidak mau berempati dengan orang lain yang berbeda identitasnya.
4. Tidak bersikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain. Anak sering dicela, dihina, diejek sehingga merasa rendah diri. Atau sebaliknya diperlakukan istimewa secara berlebihan. Akibatnya, anak menjadi sombong, merasa lebih ´tinggi’ dari teman-temannya.
Sepertinya halnya orang dewasa, anak-anak pun belajar dari pengalaman hidupnya. Oleh karena itu, tanamkan hal-hal yang baik sejak dini, ajarkan anak untuk menerima dirinya dan orang lain apa adanya. Dengan demikian anak bisa tumbuh sehat jasmani dan rohani.