[pullquote]Semua anak pasti memiliki rasa khawatir dan ragu. Tetapi, anak dengan gangguan Obsessive Compulsive Disorder (OCD) biasanya sulit menghentikan kekhawatiran mereka, meski sudah mencoba untuk tenang. Kekhawatiran berlebihan inilah yang seringkali berpengaruh terhadap perilaku mereka.[/pullquote]
[dropcap style=”color: #83d358;”]A[/dropcap]nda mungkin cukup sering mendengar istilah OCD, baik di pergaulan sehari-hari maupun dari berbagai sumber informasi yang Anda temui. OCD merupakan salah satu gangguan kecemasan yang cukup sering ditemui, dari mulai anak-anak sampai orang dewasa. Pada tingkatan tertentu, OCD sendiri sudah merupakan gangguan kecemasan yang serius.
Sebuah gangguan yang cukup serius
Dalam ranah ilmiah, OCD sendiri merupakan sebuah gangguan yang menyebabkan adanya pengulangan, pikiran yang tidak menyenangkan (obsesi), atau perilaku (kompulsif) yang sulit untuk dikontrol. Sebenarnya memiliki rasa takut atau khawatir adalah wajar, tetapi pada mereka yang memiliki gangguan OCD, perasaan ini muncul dalam frekuensi yang tinggi. Bila dijumlahkan waktunya, bisa lebih dari satu jam per hari! Tentu saja hal ini bisa menyebabkan stres.
Salah satu contoh perilaku obsesi yang paling sering muncul adalah ketika anak merasa khawatir terus-menerus menjelang ujian, karena ia ingin dapat nilai yang bagus. Gejalanya juga dapat dilihat dari sikap anak yang perfeksionis dan sangat teratur. Sementara itu, perilaku kompulsif biasanya ditampilkan dalam bentuk ritual yang diulang-ulang. Contohnya, mencuci tangan berulang kali, mengecek pintu apakah sudah dikunci atau tidak, atau mengecek boks makan siangnya berulang kali karena khawatir tertinggal.
Selain itu, perilaku kompulsif juga dapat ditampilkan dalam bentuk pikiran yang diulang-ulang dan mungkin irasional. Misalnya, dengan menghitung di dalam hati, berdoa terus-menerus, atau mengulangi beberapa kata. Mereka baru merasa tenang, apabila sudah melakukan hal ini secara berulang. Itu pun tidak ada batas pasti yang dapat membuat mereka merasa tenang. Pada beberapa anak yang memiliki gangguan serius, mereka sulit merasa tenang, seberapa pun seringnya mengulang-ngulang perilaku maupun perkataan tersebut.
Untuk membedakan perilaku obsesif dan kompulsif yang merupakan sekadar kebiasaan atau sudah menjadi gangguan, dapat dilihat dari intensitas perilaku tersebut. Anak yang tidak memiliki gangguan OCD cenderung mudah untuk menghentikan perilaku tersebut bila diingatkan atau dibimbing orangtua. Namun, pada anak dengan OCD, sulit untuk menghindari perilaku atau mengabaikan pikiran-pikiran irasional tersebut. Apalagi, anak-anak dan remaja sering kali tidak sadar bahwa perilaku obsesif dan kompulsif mereka nyatanya tidak wajar.
OCD pada anak
Jumlah anak dan remaja yang terdeteksi memiliki gangguan OCD mungkin tidak terlalu banyak. Sekitar 1 persen dari anak-anak dan remaja memiliki gangguan ini, yang penyebabnya bisa berkembang secara genetis maupun efek dari pengaruh lingkungan (mencontoh dari perilaku orang-orang sekitarnya). Dalam sebuah penelitian yang dilakukan tahun 2009 oleh Helbing dan Ficca dalam The Journal of School Nursing, sebanyak 1 sampai 4 persen anak dan remaja di Amerika Serikat memiliki gangguan OCD.
Anak-anak dengan OCD biasanya sangat khawatir sesuatu akan membahayakan dirinya, melakukan sesuatu yang salah, dan khawatir menjadi kotor (atau pikiran bahwa hal-hal buruk akan terjadi). Anak dengan OCD juga biasanya cemas jika sesuatu tidak berjalan sesuai aturan atau tidak sempurna. Mereka takut kehilangan sesuatu dan terkadang mereka juga bisa terobsesi untuk mengumpulkan satu jenis barang yang mungkin terlihat tidak berguna bagi orang lain.
Untuk anak yang lebih kecil, biasanya mereka kesulitan untuk menjelaskan alasan mereka melakukan ritual atau kebiasaan-kebiasaan tertentu. Mungkin mereka akan menjawab, “Pengen saja” atau “Pokoknya harus begitu” bila ditanya mengapa harus melakukan sesuatu sesuai ritual pribadinya. Namun, intinya, ketika anak memaksakan untuk melakukan segala ritual tersebut, anak sebenarnya sedang mencoba untuk menghilangkan kecemasan mereka.
Mereka ingin memastikan dan meyakinkan bila hal buruk yang ada dalam bayangan mereka tidak akan terjadi. Karena itu, Elana Pearl Ben-Joseph, M.D., mengatakan bahwa OCD merupakan ‘overactive alarm system’ bagi siswa. Rasa cemas yang kuat membuat mereka merasa harus mengulangi perilaku tertentu, untuk menetralkan perasaan tidak nyaman dalam dirinya. Terkadang memang benar, hal tersebut dapat mengurangi rasa cemas mereka, tetapi sebenarnya hanya sementara saja. Dalam jangka panjang, ritual-ritual tersebut justru akan memperburuk derajat keparahan OCD dan membuat obsesi mereka semakin memuncak.
Apa yang bisa kita lakukan ?
Pada anak dan remaja, terkadang sulit mendeteksi gangguan OCD. Terutama bagi remaja, yang cenderung menyembunyikannya. Terkadang, mereka juga tidak tahu bagaimana cara mengekspresikan kekhawatirannya. Sehingga, seringkali orangtua atau guru baru menyadarinya setelah melihat hasil dari gejala-gejala yang muncul, seperti berlama-lama di dalam kamar mandi, sering sendirian di dalam kamar, atau untuk anak yang lebih kecil, tantrum ketika tidak dapat melakukan sesuatu yang sesuai dengan kriteria sempurna.
Jika hal ini dibiarkan, maka kondisi tersebut akan meningkat menjadi rasa khawatir berlebihan dan mengakibatkan keterbatasan di beberapa area kehidupan, seperti dalam hubungan pertemanan serta fungsi mereka di sekolah dan keluarga. Dapat juga berkembang menjadi depresi dan, dalam beberapa situasi, bisa mengakibatkan kecemasan yang ekstrim, isolasi secara sosial, dan terbatasnya aktivitas. Anak juga mungkin saja mengembangkan pikiran untuk menyakiti diri sendiri.
Berikut beberapa hal yang dapat dilakukan orang tua sebagai penunjang terapi yang diberikan ahli :
- Jadilah teman ‘curhat’ anak. Dalam keadaan cemas tingkat tinggi, anak butuh orang tua yang bisa menjadi tempat berbagi cerita dan memberikan rasa aman. Perasaan ‘sendiri’ hanya akan membuat mereka stres dan mengarah depresi. Jadilah tempat curhat yang baik dengan berempati dan tidak terlalu banyak memberikan nasihat. Kebanyakan anak ingin sekali didengar.
- Berikan pujian atas usaha anak untuk menghentikan perilaku mereka.
- Identifikasi kebutuhan anak dan situasi apa yang biasanya membuat anak merasa tidak nyaman. Diskusikan dengan anak dan anggota keluarga lain (bila perlu) mengenai hal apa saja yang bisa dilakukan agar anak bisa merasa lebih nyaman dalam menjalani aktivitasnya.
Pahami keterbatasan diri sebagai orang tua. Apabila perilaku anak begitu mengganggu kesehariannya, sebaiknya konsultasikan kepada psikolog dan psikiater mengenai kebutuhan melakukan terapi tertentu.