Jangan terburu-buru memberi label pembohong pada buah hati Anda. Jangan-jangan itu adalah caranya berimajinasi
Suatu kali Pak Hendra mendengar anaknya, Dodi (4 tahun), bermain dengan temannya. Kepada temannya itu Dodi berkata bahwa ia pernah pergi ke Disneyland, bertemu para tokoh kartun Donald Duck dan Mickey Mouse yang bisa terbang. Dengan meyakinkan, bocah yang baru duduk di bangku Taman Kanak-kanak itu menceritakan pengalamannya yang mengasyikkan. Ryan, temannya, cuma bisa tercengang dan mengangguk-angguk saja. Wajah Dodi tampak begitu bangga.
Melihat polah putranya Pak Hendra bukannya bangga, tetapi justru prihatin. Bagaimana ia tidak menggelengkan kepala. Dodi kan belum pernah ke Disneyland. Paling jauh, ia mengajak putranya itu pergi ke Bandung, mengunjungi rumah nenek. Karena dianggap telah berbohong, Dodi pun dimarahi sang ayah.
Bukan berbohong
Benarkah bocah berwajah polos ini seorang pembohong? Apa yang disampaikan Dodi kepada temannya bukanlah tindakan berbohong. Melainkan pengembangan imajinasi yang ada di kepala anak balita. Perlu diketahui oleh para orangtua, bahwa anak usia balita belum bisa membedakan dunia imajinasi dengan kenyataan sebenarnya.
Pada usia kanak-kanak, imajinasi apa saja dapat dikembangkan dalam bentuk apa saja. Tanpa diduga, seorang anak akan mampu berbicara atau mengeluarkan ide fantastis melebihi orang dewasa. Semua yang pernah dilihat atau didengarnya bisa dikembangkan sesukanya tanpa perlu diberi tahu apakah itu benar atau salah.
Oleh karena itu, perlu sikap yang bijak dari orangtua untuk memahami si anak. Sebab, apabila orangtua tidak mau mengerti, yang ada hanyalah sikap menyalahkan si anak. Jika ini terus berlangsung, hasilnya malah dapat mematahkan semangatnya untuk berimajinasi dan berkreasi.
Bimbing anak
Langkah terbaik bagi orangtua ialah membimbing dan membenarkan ucapan si anak apabila ada pemikirannya yang keliru. Misalnya, dengan tetap mengambil kasus Dodi di atas, Pak Hendra bisa meluruskan cerita pada Ryan jika Mickey Mouse yang “dilihatnya” di Disneyland itu tidak bisa terbang. Pendekatan dengan penjelasan baik-baik seperti ini biasanya berhasil mengarahkan imajinasi anak-anak yang kerap keluar dari “jalur kebenaran”.
Bohong seperti ini tidak perlu diwaspadai, apalagi sampai dimarahi. Justru sebaliknya, karena takut dimarahi, seringkali menjadi penyebab anak-anak suka berbohong pada orangtuanya. Kecenderungan ingin mendapat rasa aman pada diri anak balita membuat mereka menciptakan proteksi diri dengan cara berbohong.
Selain tidak boleh marah, memperbanyak diskusi dengan anak merupakan jalan yang tepat guna membuka komunikasi dua arah antara orangtua dan anak. Jangan pernah sekali-kali menganggap anak-anak bodoh dan belum bisa berpikir seperti kita. Jika Anda sering mengajaknya berbincang, bersiaplah mendapatkan ide-ide yang tidak pernah Anda duga sebelumnya. Percayalah.