[pullquote]Sebagian besar orang awam memahami disleksia sebagai kondisi dimana anak sulit belajar membaca, malas menulis, jika menulis banyak huruf yang hilang, sulit menghitung, dan sebagainya, namun sejatinya disleksia tidak sesederhana itu.[/pullquote]
Area belajar yang terlibat dalam kesulitan belajar spesifik meliputi :
1. Area pertama adalah area ketrampilan akademis, meliputi kemampuan membaca, menulis, mengeja, aritmatika dan bahasa, baik bahasa lisan, bahasa tulisan maupun bahasa sosial.
2. Area kedua adalah area executive function yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari, seperti halnya kemampuan untuk mengelola sesuatu (organizing skill), kemampuan mengendalikan impulsivitas, kemampuan bersosialisasi, persistensi atau ketekunan dalam menuntaskan suatu pekerjaaan, dan juga ketrampilan koordinasi motorik.
Hal lain yang membuat disleksia menjadi suatu kasus cukup kompleks adalah banyaknya penelitian yang melaporkan bahwa sekitar sepertiga kasus disleksia biasanya diikuti dengan gangguan perilaku lainnya, terutama Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas atau yang biasa dikenal Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Penelitian menunjukkan bahwa beberapa marka genetik yang berperan pada kejadian disleksia juga turut bertanggung jawab pada keadaan ADHD, itu sebabnya kondisi disleksia dan ADHD seringkali terjadi bersamaan.
Di luar segala rupa ‘kesulitannya’ itu, anak disleksia juga mempunyai banyak area minat dan bakat yang luar biasa, misalnya mempunyai kemampuan imaginatif yang luar biasa, kemampuan bermain konstruktif yang di luar usianya, kemampuan bermusik atau berolahraga yang sangat terampil, atau anak yang jago sekali bermain strategi pada berbagai permainan yang membutuhkan ketrampilan problem solving tingkat tinggi.
Kenali disleksia sedini mungkin
Disleksia bukanlah suatu penyakit akut yang bisa sembuh. Disleksia diturunkan secara genetik sehingga tetap disandang seumur hidup. Disleksia yang dikenali dini dan mendapatkan intervensi dini yang tepat akan menumbuhkan kemampuan anak mencari strategi belajar yang paling tepat bagi dirinya. Performanya menjadi lebih baik dan anak siap untuk menghadapi berbagai tantangan.
Sekali lagi perlu diyakini bahwa disleksia bukan disebabkan karena kebodohan, bukan juga karena gangguan sensoris, bukan karena gangguan penglihatan atau gangguan pendengaran dan juga bukan karena gangguan motorik. Hal ini penting untuk dipahami agar tata kelola disleksia tepat dan tidak melakukan berbagai jenis terapi yang tidak ada dasarnya bagi perbaikan performa disleksia.
Selain itu, anak juga nampak grasa grusu, sangat berantakan dalam keseharian, misalnya banyak buku yang ketinggalan, PR yang kelupaan, isi ransel yang berjatuhan, pensil atau tempat makan yang selalu hilang, sulit menumpukan perhatian dalam rentang waktu yang cukup sesuai usianya.
Gejala khas disleksia :
- kesulitan berinteraksi sosial,
- cenderung janggal dalam pergaulan,
- tidak percaya diri untuk bergabung dengan kegiatan permainan dengan sebayanya.
- atau sebaliknya, anak justru tampil seperti anak yang agresif, sulit diatur, hanya jalan-jalan saja di kelas, tidak pernah mengerjakan tugas dari guru, provokator di kelas dan dijauhi teman-temannya karena perilaku negatifnya ini. Waspadalah karena perilaku negatif tersebut bisa jadi merupakan cara anak untuk menghindar tugas akademis yang tak mampu ia atasi.
Download artikel lengkapnya di Majalah Anakku Digital :
Apa penyebab disleksia ?
Banyak penelitian yang mengungkapkan berbagai teori penyebab terjadiya disleksia, diantaranya adalah teori ‘phonological deficit’, teori ‘rapid auditory processing’, teori ‘visual perceptual deficit’, teori ‘cerebellar deficit’ dan yang terakhir adalah teori ‘genetika’. Berbagai penelitian melaporkan bahwa faktor genetik berperan sangat signifikan pada kejadian disleksia. Seorang ayah yang disleksia mempunyai potensi menurunkan disleksia sebesar 40% kepada anak laki-lakinya. Orangtua disleksia, sekitar 50% anak-anaknya juga menyandang disleksia, dan jika salah satu anak adalah penyandang disleksia dilaporkan 50% saudara kandungnya juga disleksia.
Banyak penelitian genetika yang menunjukkan adanya ‘gen disleksia’ yang kebanyakan ditemukan di kromosom 6 yang merupakan kromosom yang banyak bertanggungjawab atas terjadinya penyakit-penyakit autoimun.
Bagaimana solusinya ?
Secara umum pengelolaan disleksia meliputi remedasi dan akomodasi. Yang dimaksud remediasi adalah mengulang bagian-bagian akademis yang menjadi kesulitannya namun dilakukan dengan teknik tertentu, dan dilakukan oleh well-trained teacher yang mempunyai kompetensi khusus di bidang disleksia. Proses remediasi dilakukan dengan materi yang diberikan sedikit demi sedikit atau bertahap dan pastikan dimulai dari materi yang sudah dikuasai sebelumnya sehingga anak mempunyai pengalaman berhasil. Proses remediasi yang berulang-ulang ini seringkali dikenal sebagai istlah overlearning.
Disarankan anak disleksia berada di kelas dengan volume siswa sekitar 1 guru untuk 7 siswa saja. Anak disarankan untuk duduk yang mudah ‘terjangkau’ guru sehingga guru lebih mudah memberikan arahan. Lembar kerja disarankan menggunakan kertas yang berwarna pastel dengan ukuran tulisan dan spasi yang lebih besar dari ukuran biasanya. Cara pembelajaran dan cara pengetesan pada anak disleksia mungkin membutuhkan teknik lisan atau praktikum (hands-on). Selain itu, sangat disarankan untuk memberikan waktu lebih bagi siswa disleksia untuk menuntaskan pekerjaannya karena seperti sudah dibahas di awal, bahwa mereka biasanya membutuhkan waktu lebih lama untuk bisa menyelesaikan tugasnya.
Asosiasi Disleksia Indonesia
Asosiasi Disleksia Indonesia adalah suatu lembaga non profit yang didirikan oleh komunitas masyarakat pada tanggal 27 Desember 2009. Asosiasi ini terbuka untuk umum dan bertujuan untuk menyamakan persepsi tentang disleksia diantara seluruh komponen masyarakat dan memperjuangkan persamaan hak belajar bagi anak disleksia di seluruh Indonesia. Dalam usianya yang sudah lebih dari 5 tahun ini, ADI telah menyelenggarakan Kelas Layanan Khusus Disleksia yang khusus melayani kasus kasus disleSksia berat yang sudah tidak mampu dikelola di sekolah reguler masing-masing.