[pullquote]Dalam kehidupan dewasanya nanti, anak akan dihadapkan pada berbagai tantangan dimana ia diharapkan dapat menjalaninya dengan baik. Seperti juga ketika harus menghadapi kompetisi dan kolaborasi dengan sesama teman.[/pullquote]
Beberapa waktu lalu, saya terlibat dalam diskusi tentang ‘perlukah anak diikutkan lomba’. Sebagian ibu tidak setuju jika anak-anak mereka mengikuti lomba, dengan alasan, hal itu mengajarkan anak untuk berkompetisi bukan berkolaborasi. Mereka percaya, berkolaborasi lebih baik daripada berkompetisi. Sebagian lain mengungkapkan bahwa meski kolaborasi memiliki dampak yang positif, tetapi mengikutkan anak pada perlombaan juga penting, karena dapat mengajarkan anak berbagai hal meski melalui kompetisi. Perdebatan ini tentunya menimbulkan pertanyaan, perlukah anak diajarkan untuk berkompetisi?
Siap menang dan kalah
Sejak usia balita, anak-anak telah belajar untuk berkompetisi dengan lingkungannya, misalnya dengan saudara kandung maupun teman-temannya. Memperebutkan mainan, memperoleh perhatian ayah ibu, membandingkan benda-benda yang dimiliki adalah contoh yang sering dijadikan ajang kompetisi. Mereka berusaha memperlihatkan bahwa “Ini punyaku, aku lebih disayang, punyaku lebih bagus, lebih besar atau lebih banyak” kepada saudara dan teman-temannya.
Meski demikian, kompetisi bukan sifat bawaan melainkan sesuatu hal yang dipelajari. Kompetisi memiliki dua kutub yang berbeda, yaitu menang atau kalah. Menariknya, belajar menyikapi kemenangan jauh lebih mudah daripada belajar menyikapi sebuah kekalahan. Khususnya bagi anak-anak yang pada umumnya berharap dapat memenangkan segalanya. Belajar untuk menerima kekalahan memerlukan latihan yang terus menerus. Kelak di dunia nyata, anak tidak dapat menghindari dari kompetisi, misalnya ketika harus mencari pekerjaan, menunjukkan prestasi kerja bahkan untuk mencari pasangan hidup.
Perlombaan adalah salah satu cara untuk berkompetisi dan merasakan dampak kemenangan maupun kekalahan secara nyata dan dalam bentuk yang berbeda. Dalam kompetisi yang ada di perlombaan, anak belajar untuk:
- mengenali kemampuan dirinya dan batasan yang ia miliki
- menentukan tujuan
- belajar memecahkan masalah
- mengambil keputusan dengan tepat dan cepat
- disiplin
- bersikap sportif
- bekerjasama dengan orang lain
- mengendalikan diri
- menghargai kemenangan
- menyikapi popularitas akibat kemenangan itu dan terutama
- belajar menerima kekalahan dan bangkit dari kekalahan itu.
Di titik ini anak belajar tentang ketahanmalangan (adversity) serta bersikap dewasa dalam menghadapi situasi yang tidak menyenangkan.
Positif atau negatif?
Anak-anak usia balita sampai usia 7 atau 8 tahun, menganggap perlombaan sebagai permainan, mereka memfokuskan diri untuk bermain, dan belajar bagaimana melakukan permainan itu. Baru di usia 8 atau 9 tahun, mereka belajar tentang kemenangan. Banyak penelitian memperlihatkan, anak-anak yang tidak siap untuk berkompetisi akan mengalami masalah perilaku seperti perasaan tidak aman, egois, kurang bertanggung jawab dan kurang matang dalam menghadapi situasi sulit.
Lalu, mengapa banyak orang yang mengkhawatirkan dampak kompetisi misalnya dalam perlombaan? Penelitian memperlihatkan bahwa tuntutan yang besar untuk menjadi pemenang atau menjadi terbaik, termasuk tekanan dari orangtua akan menimbulkan stres pada anak yang menyebabkan anak tidak lagi menikmati proses kompetisi yang ia jalani, bahkan kehilangan motivasi internal untuk dapat memenangkan kompetisi itu. Akibatnya hal itu mengurangi kepuasan anak ketika mereka berhasil memenangkan sesuatu.
Kemenangan-kemenangan itu pada akhirnya ‘dipersembahkan’ untuk orangtua, untuk memperoleh hadiah, atau hal lain yang bersifat eksternal. Ketika motivasi eksternal menggantikan motivasi internal, apa yang dilakukan anak tidak lagi semenarik sebelumnya. Motivasi internal yang berasal dari dalam diri anak lebih memberi dampak positif dari pada motivasi eksternal yang berasal dari lingkungan. Selain itu, kepribadian anak yang cenderung mudah cemas ketika harus menghadapi persaingan juga menjadi pemicu stres pada anak.
Oleh sebab itu, kapan kompetisi itu menjadi suatu hal yang positif dan sebaliknya menjadi negatif bagi anak? Kompetisi menjadi positif bagi anak apabila:
- Dapat menginspirasi anak untuk melakukan yang terbaik, bukan hanya berusaha untuk menang. Oleh sebab itu, sebelum kompetisi perlu kiranya orangtua dan pelatih menekankan pada anak bahwa kemenangan bukan segalanya, tetapi anak harus belajar sesuatu dari pengalaman yang ia dapat dari kompetisi itu. Jika perlu lakukan refleksi di akhir kompetisi. Apabila anak belum berhasil memenangkan kompetisi tersebut, beri mereka pelukan dan dukungan, bukan dengan memberikan hadiah pengganti.
- Disertai feedback atau umpan balik bagi tiap anak, misalnya tentang hasil yang mereka peroleh dan peningkatan yang mereka raih. Dalam hal ini, juri, orangtua, pelatih maupun guru dapat memberikan umpan balik tersebut serta menekankan bahwa kompetisi bertujuan untuk mengenali kemampuan diri, khususnya dalam situasi yang menantang. Melalui umpan balik positif anak akan terus tertantang untuk memperbaiki kekurangannya serta membuktikan bahwa dirinya memang ‘mampu’. Umpan balik positif dapat mendorong anak untuk bersaing dengan dirinya sendiri, membuktikan bahwa ia mampu jika mencoba dan bukan bersaing dengan orang lain.
- Apabila anak diajarkan bagaimana menangani kemenangan maupun kekalahan. Bagaimana mereka harus bersikap ketika menghadapi lawan yang kalah, berempati terhadap orang lain, menerima kekalahan dan menghadapi lawan yang menang, memanfaatkan kelebihan mereka untuk kembali bangkit dan memperbaiki kekurangan yang mereka miliki.
Sebaliknya, kompetisi menjadi negatif bagi anak apabila:
- Menimbulkan stres pada anak, tanpa ada bantuan untuk mengendalikannya, sehingga stres akan berlanjut dalam waktu cukup lama.
- Semata-mata menitikberatkan pada kemenangan.
- Mempermalukan anak.
- Tidak memperhatikan kemampuan anak karena hal tersebut membuat anak merasa tidak mampu/
- Mengajarkan anak untuk bersikap mementingkan diri sendiri serta tidak peduli pada orang lain.
- Menimbulkan kekerasan dan agresivitas.
- Membuat anak menjadi bahan ejekan teman-temannya.
- Hanya untuk kepentingan menyenangkan hati orang tea.
Oleh: Rangga Dewati, M.Si., Psikolog
Referensi:
- Johnson, C.E. (1993). Children and Compettition. North Carolina Cooperative Extention Service, May 1993. Electronic Publication Number: HE404A.
- Vallerand, R.J., Gauvin, L.I., Halliwell, W.R. (2001). Effect of Zero-Sum Competition on Children’s Instrinsic Motivation and Perceived Competence. The Journal of Social Psychology, 126(4), 465-472