[quote type=”center”]Anda mendapati si kecil asyik berbicara dan tertawa, seolah ada teman di sisinya. Wah, dia punya teman yang kasat mata. Bahaya nggak ya?[/quote]
[dropcap style=”font-size: 60px; color: #83D358;”]F[/dropcap]arah merasa bingung kenapa anaknya Andi, yang masih berusia 4 tahun, selalu minta dibuatkan dua bekal makan siang untuk dibawa ke sekolahnya. Tapi, ketika pulang, pasti bekal yang satunya masih utuh. Kalau ditanya, pasti jawabannya sama…bekal satu lagi buat Farrel temannya. Sampai minggu lalu, ketika saya sempat mengantar Andi ke sekolah, saya tanya sama gurunya yang mana sih yang namanya Farrel. Ternyata, menurut gurunya tidak ada yang bernama Farrel!
Menurut banyak ahli perkembangan anak, fenomena anak punya teman imajinasi atau teman”maya” adalah suatu hal yang wajar dan justru menunjukkan imajinasi anak yang aktif. Selain itu, teman imajinasi bisa membantu anak memahami sudut pandang orang lain tentang sesuatu. Misalnya, anak suka coklat tapi teman imajinasinya tidak suka.
Teman imajinasi juga merupakan latihan bagi anak untuk membina hubungan dengan teman sungguhan nantinya. Selain itu, teman imajinasi bisa membantu anak untuk merefleksikan perasaan atau kebutuhannya dalam konteks yang aman.
Teman imajinasi ini tidak akan permanen. Seiring berjalannya waktu dan bertambah luasnya lingkungan pergaulan anak, teman imajinasi menjadi semakin tidak dibutuhkan anak.
Jadi, teman imajinasi ini tercipta karena adanya kebutuhan anak itu sendiri. Antara lain, kebutuhan akan teman dan kebutuhan untuk mengungkapkan perasaannya secara aman. Suatu saat nanti ketika kebutuhan ini terpenuhi dari kehidupan nyatanya, maka anak tidak memerlukan lagi teman imajinasinya. Umumnya anak tidak lagi punya teman imajinasi ketika memasuki usia sekolah dasar.
Sampai saat ini tiba, orangtua sebaiknya menghindari sikap menolak atau memaksa anak untuk tidak berpura-pura punya teman imajinasi. Ini justru akan menambah kecemasan anak. Ketahuilah bahwa anak sadar kok sebenarnya kalau teman imajinasinya tidak benar-benar ada. Jadi tidak perlu khawatir berlebihan.
Untuk kasus seperti Andi di atas, orangtua tidak perlu sampai mengikuti kemauan semua anak seperti selalu membuatkan dua bekal makanan ke sekolah. Orangtua bisa pakai trik lain untuk menghindari permintaan anak semacam ini, misanya Anda bisa bilang kalau teman imajinasi anak makan di rumah saja (jadi tidak perlu bekal) karena nanti sepulang sekolah akan dibuatkan makanan yang lebih istimewa.
Tidak perlu khawatir anak akan terhanyut dalam imajinasinya. Di usia balita, anak memang masih sulit membedakan mana yang imajinasi dan mana yang realita. Namun sebenarnya kemampuan membedakan ini sudah berkembang ketika anak berusia 2,5 tahun. Memang mereka terkadang sulit ditarik keluar dari imajinasinya karena dunia imajinasi ini begitu mengasyikkan.
Berikut beberapa tip untuk mengoptimalkan bermain imajinasi anak :
- Sediakan barang-barang yang menunjang permainan imajinasi ini seperti balok susun, alat masak-masakan, boneka, dll.
- Perkenalkan anak pada berbagai peran seperti dokter, guru dan sebagainya lewat buku atau pengalaman sehari-hari.
- Sediakan cermin panjang untuk anak mematut diri. Cermin ini sangat membantu imajinasi anak untuk menyelami peran tertentu.
- Ajak anak untuk memerankan tokoh cerita yang dilihat di buku atau film yang ditonton.
- Sebisa mungkin dampingi anak ketika sedang bermain karena Anda bisa memperkaya imajinasinya dengan stimulasi (terutama bahasa) yang relevan dengan permainannya.
Referensi:
- Verna Hildebrand, Guiding Young Children, Macmillan Publisihing Company, 1994.
- Laura L Birk. Infants, Children and Adolescents. Fourt Edition. Early Childhood:Two to six years. 2001.