Penderita hemofilia dapat hidup normal sepanjang mereka tahu cara menanganinya. Perhimpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia dibentuk untuk memberikan informasi yang tepat mengenai penyakit keturunan ini.
Hemofilia kerap disebut dengan “The Royal Disease”. Penyakit ini mulai dikenal ketika Pangeran Leopold, putra Ratu Victoria, yang memerintah Inggris pada abad ke-19, menderita hemophilia karena disinyalir, ibunya adalah seorang carrier hemofilia. Di usianya yang ke-31, Pangeran Leopold meninggal karena perdarahan di otak. Akibat pernikahan antar kerajaan yang dilakukan oleh kedua anak perempuan Ratu Victoria, Puteri Alice dan Puteri Beatrice, hemofilia pun akhirnya menyebar ke Spanyol, Jerman dan Rusia.
Hemofilia di Indonesia
Sebenarnya, hemofilia bukanlah penyakit yang mematikan. Penderitanya bisa hidup dan beraktivitas normal asal mereka tahu cara menghadapi dan menanganinya. Sebagai salah satu upaya untuk memberi informasi yang tepat mengenai hal ini, pada 18 September 2004 didirikanlah Perhimpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (PMHI) yang berkantor pusat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.
Sejarah berdirinya cukup panjang. Diawali dengan sebuah penjelasan Dr. Kho Lien Kheng pada 1965 yang memperkenalkan diagnosis hemofilia dengan memperlihatkan cara pemeriksaan Test Generasi Tromboplastin (TGT), Bleeding Time/Masa perdarahan (BT), dan Clotting Time/Masa Pembekuan (CT). Saat itu, beberapa kasus hemofilia sudah muncul di Indonesia. Kemudian pada 1995 para dokter di RSCM mulai mengumpulkan data penderita hemofilia di Indonesia. Tercatat 288 orang yang terdiagnosis menderita hemofilia.
Sejarah terbentuknya PMHI
Profesor Parttraporn Isarangkura dari Thailand memperkenalkan program World Federation of Hemophilia/Badan Hemofilia sedunia (WFH) pada tahun 1997 di Indonesia melalui Pekumpulan Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia (PHTDI). Kemudian dibentuklah Tim Pelayanan Terpadu Hemofilia Nasional (TPTHN) RS Cipto Mangunkusumo dan Yayasan Hemofilia Indonesia (YHI). Anggotanya terdiri dari dokter bagian Ilmu Kesehatan Anak, Ilmu Penyakit Dalam, Patologi Klinik, Bedah Ortopedi, Rehabilitasi Medik, Kedokteran Gigi, Ilmu Jiwa, dan Kedokteran Transfusi dan perawat.
Dengan dukungan WFH, pelayanan hemofilia di Indonesia semakin baik. Dari tahun ke tahun pun PHTDI dan TPHTN berhasil meningkatkan data hemofilia di Indonesia. Sampai tahun 2003, jumlah penderita hemofilia di Indonesia tercatat sekitar 757 orang. Setiap tahun, jumlah penderita hemofilia semakin bertambah. Penanganannya pun semakin kompleks. WFH kemudian pun menginginkan ada semacam komunitas yang terintegrasi. Isinya tak hanya dokter tetapi juga penderita, keluarga, juga masyarakat awam. Tujuannya, supaya penanganan hemofilia bisa lebih komprehensif.
Maka pada 18 September 2004, diselenggarakan sebuah pertemuan di Semarang yang dihadiri oleh perwakilan dari berbagai cabang PHTDI dan yayasan Hemofilia. Pertemuan tersebut kemudian menyepakati terbentuknya HMHI yang beranggotakan tim medis, penderita dan orang tua penderita Hemofilia, pemerhati masalah sosial dan relawan dari kalangan masyarakat umum lainnya.
Kegaitan PMHI
Banyak program kerja yang dilakukan oleh PMHI. Seperti melakukan sosialisasi, edukasi, serta advokasi mengenai hemofilia, baik untuk penderita maupun kepada masyarakat umum. Kegiatannya meliputi family gathering, hemophilia camp, seminar awam, juga mempublikasikan artikel atau berita tentang hemofilia di media masa. Dana kegiatan ini didapat dari donatur, mulai dari masyarakat awam yang memberikan donasi, pemerintah, juga dari WFH.
Anda tertarik mengikuti kegiatan PMHI? Silahkan menghubungi atau mengirimkan email ke alamat atau nomor berikut:
Perhimpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (Indonesian Hemophilia Society)
RS Cipto Mangunkusumo, Jl.Diponegoro no. 71, Jakarta, 10430
Telp./faks.: +62-21-391 5738
Email: hemofilia_id@yahoo.com, info@hemofilia.or.id
UTDD (Unit Transfusi Darah Daerah) PMI DKI Jakarta
Jl. Kramat Raya No. 47, Jakarta – 10450
Telp.: 021 390 6666 (Hunting) Faks.: 021 310 1107