Berinteraksi dengan banyak anak berkebutuhan khusus (ABK) dari jam ke jam bukanlah perkara gampang. Terapis yang handal memang patut diacungi jempol. Seperti apakah mereka saat berhadapan dengan pasien ciliknya?
Jika program terapi anak berkebutuhan khusus (ABK) layaknya permainan treasure hunt, maka para terapis memiliki sebuah peta yang titik awal perjalanannya adalah sebuah diagnosis dari dokter anak dan atau psikolog sebagai petunjuk pertama para terapis untuk melakukan program yang tepat dan sesuai yang dibutuhkan anak.
Sayangnya tak semua ‘petunjuk awal’ itu tepat. Sehingga kadang para terapis harus memulai ‘perjalanannya’ dengan petunjuk yang tidak pas. Oleh karenanya, salah satu faktor kemajuan anak, erat berhubungan dengan diagnosis awal yang benar dari para dokter anak ataupun psikolog.
Modal awal: Kepercayaan
Dari sini, mulailah para terapis bertemu dengan anak di jadwal yang ditentukan. Faktor utama dari dari sesi kunci ini adalah “trust”. Biasanya pada saat pertama kali berinteraksi dengan pasien, seorang terapis harus berusaha mendapatkan kepercayaan dari pasien yang akan dipegangnya. Kunci ini secara otomatis akan membuka jalinan interaksi antara terapis dan pasien.
Seorang terapis biasanya mempunyai cara tersendiri untuk mendekati pasien yang akan dipegangnya, bergantung dari karakter si anak. Misalnya saja terapis akan masuk melalui mainan, ataupun permainan yang disukai oleh anak.
Teknik mengatasi pasien
Jika berhubungan dengan masalah sensoriknya, terapis akan menggunakan profil sensorik yang sudah mereka dapatkan di assessment awal untuk membuat pasien tersebut nyaman. Jika berhubungan dengan perilakunya, terapis berusaha mengetahui tipe pasien yang dihadapi, ada yang membaik dengan diabaikan, dipeluk, atau ditegaskan.
Tiap profesi memiliki tantangannya sendiri-sendiri. Begitupun dengan tantangan yang dihadapi terapis. Utamanya adalah ketika mereka harus memberikan hasil terapi setiap sesi namun orang tua masih belum menerima keadaan anaknya. Terlebih jika “pekerjaan rumah” yang biasa diberikan terapis pada orang tua untuk terus dicobakan di rumah bersama anaknya tidak dijalankan dengan baik. Alhasil, progress dari perkembangan pasien menjadi terhambat. Tantangan tersebut merupakan langkah yang harus selalu dihadapi terapis agar pada akhirnya, anak-anak mencapai perkembangan yang berarti.
Terapis juga manusia yang punya masalah pribadi, emosi yang naik-turun, dan sebagainya. Layaknya aktor, ia harus mampu berperan baik saat sedang melakukan interaksi dengan pasien. Beragam cara untuk menenangkan diri menjadi hal yang lumrah dilakukan. Misalnya saja terapis Klinik Anakku Care My Child (CMC) Kayu Putih, Dewi Anggraini, perlu menarik napas dalam dan berusaha untuk kontrol emosi. Selain itu, ia senantiasa ‘menata’ diri agar selalu sadar bahwa pasien yang ada di hadapannya adalah anak-anak berkebutuhan khusus yang membutuhkan bantuannya.
Lalu, bagaimana jika terapis dilanda rasa bosan? “Selama 10 tahun menjadi seorang terapis, saya tidak pernah sekalipun merasa bosan karena masing-masing pasien berbeda karakternya. Selain itu, tiap individu dari mereka itu unik walau diagnosa awalnya sama, dinamikanya selalu berbeda,” terang Dewi.
Mengenai pembagian terapis berdasarkan jenis kelamin pasien sebetulnya tidak ada peraturan yang mengikat. Namun terkadang memang ada beberapa pasien yang tidak bisa ditangani oleh terapis yang berlawanan jenis. Terutama pasien-pasien yang sudah besar. Oleh karenanya, untuk anak yang ‘hasrat seksualnya’ mudah muncul dipasangkan dengan terapis yang berjenis kelamin sama untuk meminimalisasi body contact yang bisa memicu timbulnya hasrat seksual pasien.
Do’s and Don’t’s para Terapis
Do’s:
- Bekerja dengan hati, karena pasien akan merasakan apa yang dirasakan oleh terapis.
- Memberikan penanganan yang sesuai dengan kebutuhan pasien tersebut.
- Berbicara dengan kata-kata yang positif.
- Jujur terhadap pasien, hal ini berhubungan dengan kepercayaan pasien ke terapis.
- Memberikan kesempatan kepada pasien untuk melakukan eksplorasi terhadap dirinya dan lingkungannya.
Don’t’s
- Emosi saat menangani pasien dikarenakan masalah pribadi terapis.
- Melakukan hukuman fisik terhadap pasien seperti memukul, menendang, ataupun mencubit.
- Berbicara kasar di hadapan pasien.
- Membatasi ruang eksplorasi pasien.
- Membohongi pasien.