Saat anak memasuki usia sekolah dasar dan mulai belajar “lebih serius” dibandingkan saat dia di taman kanak-kanak, beberapa anak menunjukkan masalah yang dalam mempelajari hal-hal baru yang sifatnya akademis, seperti saat belajar membaca, menulis, menyalin, memahami bacaan, bahkan sebagian menunjukkan kesulitan dalam matematika yang sederhana dan soal cerita matematika. Hal ini seringkali membuat orang tua dan guru menjadi “bingung” karena anak-anak tersebut telah diyakini dengan pemeriksaan psikometrik mempunyai tingkat kecerdasan yang normal, bahkan tidak jarang sebagian dari mereka merupakan anak yang sangat cerdas dan mempunyai tingkat kognisi jauh di atas rata-rata.
Kesulitan belajar spesifik dikenal sebagai disleksia. “Dyslexia” berasal dari bahasa Greek yaitu “dys” berarti kesulitan, dan “lexis” yang berarti bahasa, sehingga disleksia bermakna sebagai kesulitan belajar spesifik berupa kesulitan membaca, mengeja, dan menulis, yang tidak sebanding dengan tingkat intelegensinya.
Disleksia merupakan kesulitan belajar yang disandang oleh individu yang normal, tidak mempunyai penyakit atau kelainan saraf, mempunyai tingkat kecerdasan yang normal atau di atas rata-rata. Kesulitan belajar spesifik ini dapat dikenali sejak dini dan jika diintervensi secepat mungkin akan memberikan kemajuan yang baik. Sedangkan jika tidak mendapatkan penanganan yang pas, dapat berakhir menjadi individu yang selalu terpuruk prestasi akademisnya, mempunyai self-esteem yang buruk, dan tidak sukses dalam kehidupan dewasanya kelak.
Kesulitan belajar spesifik bukan disebabkan kurangnya motivasi atau gangguan pada area sensoris, instruksi yang tidak tepat atau keterbatasan dalam pengalaman, namun dapat terjadi bersamaan dengan kondisi-kondisi tersebut. Kesulitan belajar spesifik juga tidak disebabkan karena kurangnya perhatian orang tua kepada anak, atau karena orang tua terlalu sibuk, atau karena kondisi hipotonia maupun gangguan tulang belakang.
Kejadian disleksia bervariasi di tiap negara, yaitu sekitar 3-17%, dan rata-rata melaporkan sekitar 5-10%. Di Indonesia, belum ada penelitian mengenai angka kejadian disleksia.
Saat anak berada di usia pra sekolah atau di TK, curigai disleksia jika….
- Adanya riwayat keluarga menyandang kesulitan belajar spesifik.
- Anak telat perkembangannya dalam aspek berkomunikasi.
- Anak sulit mengenal dan mempelajari ritme lagu.
- Anak menunjukkan masalah bermakna dalam mengartikulasikan kata-kata.
- Anak sulit menemukan kata-kata yang tepat saat berkomunikasi (dapat berupa bicara gagap, bicara terlalu cepat sehingga sulit dimengerti, atau bicara yang melebar dari topik inti).
- Anak menunjukkan kesulitan yang bermakna saat mempelajari huruf dan bilangan/angka, dimana anak seringkali tertukar pada huruf-huruf tertentu atau bilangan-bilangan tertentu seperti huruf “b” dengan “p”, “d”,q”; huruf “w” dengan “m”; huruf “m” dengan “n”; huruf “n” dengan “h”, huruf “s” dengan “z”; angka “2” dengan “5”, angka “6” dengan angka”9”, atau huruf-huruf dan angka-angka tersebut ditulis terbalik
Di usia yang lebih besar anak sangat lambat kemajuannya dalam keterampilan membaca dan memahami bacaan, saat menulis atau menyalin banyak huruf atau kata yang hilang, anak sulit mengerjakan tes pilihan ganda. Anak lambat pemahamannya akan konsep waktu dan uang. Sebagian anak juga sulit memahami makna kata-kata dalam soal matematika seperti: ”lebih besar dari”, “lebih kecil dari”, “di antara”, “sejajar”, dan sebagainya, dan hal ini disebut sebagai “dyscalculia”. Selain itu kebanyakan anak disleksia juga menunjukkan ketrampilan motorik yang clumsy atau grasa grusu, dan ini dikenal sebagai “dyspraxia”. Sekitar sepertiga anak disleksia juga menyandang gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas atau yang dikenal sebagai Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD).